Rabu, 11 November 2015

SALAM HANGAT MENTARI PAGI

Suara burung berkicau merdu bersautan di dahan pohon. Tetesan embun  masih melekat di rerumputan seperti kristal yang cantik. Dan aroma khas dari pabrik pengolahan karet yang lokasinya tidak jauh dari kampusku. Pemandangan indah Gunung Betung yang masih dipeluk kabut. Sinar matahari mulai membagi sinarnya kepada makhluk ciptaan Allah yang lain.
Suasana kampus masih sepi, belum ada satupun mahasiswa yang menampakkan batang hidungnya. Maklum sekarang pukul setengah tujuh pagi, hari Sabtu pula, biasanya orang punya kepentingan sendiri. Ada yang memilih untuk pulang kampung, olah raga, refreshing atau ada urusan keluarga.
Sepertinya cuma aku yang udah ada di kampus pagi-pagi seperti ini, lantaran sudah beberapa bulan terakhir aku menghabiskan waktuku di laboratorium untuk tugas akhir. Tugas akhir yang memaksaku rela menginap sampai tiga hari tiga malam di laboratorium.
Untung saja ada Mas Narto kakak tingkatku yang juga sedang melakukan penelitian untuk tugas akhirnya. Kebetulan orangnya enak diajak mengobrol. Pagi itu, Mas Narto, dengan mata yang masih merah karena baru bisa tidur jam tiga pagi, bilang padaku kalo dia harus mengulang lagi penelitiannya. 
“Kenapa mas?” tanyaku. 
“Biasa Djie, aku salah bikin larutan standar.” 
“Ya, sudah mas sabar saja, nanti juga selesai penelitiannya,” kataku coba kasih nasehat. 
“Bagaimana kalau kita cari makanan buat sarapan, aku lapar, tadi malam cuma makan mie rebus satu bungkus,” ajakku. 
“Oke, sekalian aku mau numpang mandi di masjid,” jawab Mas Narto.
Satu setengah jam kemudian kami sudah kembali lagi ke laboratorium. Di sana sudah ada beberapa orang mahasiswa yang mau mengikuti seminar presentasi hasil penelitian. Saat aku melewati kerumunan mahasiswa, ada suara seorang akhwat yang mengucapkan salam pada kami. Spontan aku menjawab salam akhwat tadi, “Wa’alaikum salam”.
Aku belum mengenalnya, tapi aku tahu, dia itu teman satu angkatanku di fakultas hanya beda jurusan. Tadinya kukira salam itu ditujukan kepada Mas Narto atau akhwat lain yang berjalan di belakang kami. Tapi semenjak itu dia selalu mengucapkan salam, bila bertemu denganku di jalan, di perpustakaan, di laboratorium.

Lewat temanku akhirnya aku tahu si akhwat itu bernama Deyanti. Dan ketika temanku cerita tentang Deyanti, semua hal yang kudengar selalu positif. Bagaimana ia menjaga akhlakul kharimah dengan jilbabnya yang sempurna, garis ketegasan di wajahnya yang memperlihatkan rasa bencinya terhadap hal-hal yang subhat apalagi yang haram. Dan yang membuatku terkesan adalah, bagaimana ia berusaha menghindari ikhtilat, hubungan bebas antara pria dan wanita.
Pernah suatu kali ia mengucapkan salam padaku, dengan kehangatan senyum yang tersungging di bibirnya. Bibir yang senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat dzikir pada Allah. Dengan pancaran sinar matanya yang teduh yang tetap terjaga dalam komitmennya terhadap ayat-ayat Ilahi. Pada waktu itu ingin sekali rasanya aku berbicara dan berbincang dengannya agak lama. Tapi akhirnya aku terpaksa mengakui kehebatannya dalam menjaga jarak terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah.
Beberapa bulan kemudian aku lulus dan berhak menyandang gelar sarjana. Namun aku masih sering ke kampus untuk mengurus administrasi persiapan wisuda nanti. Semenjak itu aku semakin jarang bertemu dengannya. Kata temanku Deyanti sedang penelitian di Laboratorium Kesehatan rumah sakit yang tempatnya cukup jauh dari kampus.
Waktu berlalu tanpa terasa. Aku sudah diwisuda dan alhamdulillah seorang temanku memintaku untuk menggantikannya mengajar di salah satu bimbingan belajar di kota ini. Lumayan untuk menambah penghasilan sebelum mendapat pekerjaan yang sesungguhnya, maklum jatah duit dari orang tuaku sudah jauh berkurang.
Ada satu hal yang selalu terbersit dalam fikiranku, perasaan aneh yang tiba-tiba saja muncul di dadaku dan mengganggu kinerja otakku. Insting laki-lakiku mengatakan bahwa aku membutuhkan pendamping. Yaitu aku ingin sekali meminangnya untuk menjadi istriku. Semoga Allah mengabulkan doaku, memberikan istri yang sholehah, agar bisa membentuk keluarga yang sakinah yang akan menghasilkan generasi yang akan menegakkan panji-panji Agama Allah.
Mengingat masa-laluku yang kelabu, jauh dari hidayah Allah, jauh dari sentuhan-sentuhan ilahi Robbi. Dengan rambut gondrong dan gaya ala penyanyi rock, sempat mewarnai lembaran hidupku.
Kebimbangan terbersit dalam hatiku, “Apakah ia akan menerimaku?”. “Apakah ia akan memilihku?”, mengingat begitu banyak pinangan-pinangan terhadap dirinya, yang tentu saja lebih menjanjikan untuk masa depannya, bila dibandingkan dengan diriku yang hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Sampai suatu saat seorang rekanku seorang aktivis dakwah di kampusku menyarankan untuk berdoa kepada Allah mohon lindungan dan percikan rezeki pada-Nya dengan niat yang tulus untuk menghindarkan pandangan dan kemaluan dari hal-hal yang haram.
Hari demi hari keinginanku untuk berumah tangga kian terbentuk. Doa dan shalat istikharah yang kulakukan semakin menambah rasa percaya diriku untuk meminangnya. Hatiku mantap ingin menikahinya. Aku beranikan diri untuk memberitahu orang tuaku. Orangtuaku terkejut melihat kemantapan di mataku, apalagi ibu, seakan tidak percaya anak bungsunya sudah berani mengambil keputusan sebesar itu.
Akhirnya pada awal November tahun ini aku memberanikan diri untuk meminangnya, Alhamdulillah.. rupanya doaku dikabulkan oleh Allah. Deyanti menerima pinanganku, dan pernikahan kami direncanakan awal bulan Desember sebelum puasa Ramadhan.
“Terima kasih, terima kasih, ya Allah”, selalu terucapkan dalam sujudku. Kau berikan aku istri yang sholehah, yang akan membimbing anak-anaku menjadi anak-anak yang sholeh, yang akan menjadi pembela agama Allah dan menjadi deposito pahala di akhirat kelak.
Malam semakin dingin, dinginnya merasuki tulangku. Aku matikan tombol komputer. Kuselesaikan tulisanku ini. Kulihat Deyanti tertidur di sajadahnya dengan Alquran kecil berwarna biru di genggamannya.


Tanjung Karang, Desember 1999

“Kegembiraan yang kurasakan menambah optimis untuk terus berdakwah menegakkan panji kalimat Allah dan sunah rasul”

Selasa, 09 Desember 2014

Sepenggal Cerita



Kuburan itu tanpa nisan, hanya tumpukan batu yang tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk gundukan. Seorang gadis berbaju hitam, bermuka muram dengan rambut lurus sebahu tertunduk di  tepi kuburan. Tangannya mengusap gundukan batu, bibir mungilnya bergerak melafazkan doa bagi penghuninya. Dia tidak begitu yakin apakah benar kekasih hatinya yang terbaring di situ.  Sampai satu tangan kecil menyentuh bahunya, menanyakan apa yang sedang dilakukannya.
“Apa ini kubur Winarko?” Tanya sang gadis.
Bocah laki laki itu menggeleng tanda tidak tahu. Kemudian Lari menjauh menuju seorang tua di sudut area pemakaman yang menggunakan topi jerami dengan cangkul di tangan.  Si orang tua berjalan menuju ke tempat gadis itu berdiri.
Sekali lagi si gadis menanyakan hal yang sama kepada orang tua itu.
“Ya betul, ini kuburnya. Satu bulan yang lalu dia dikuburkan, saya sendiri yang menggalinya.” Jelas si orang tua.
“Tapi mengapa tidak ada batu nisannya sebagai tanda?” Tanya gadis itu lagi.
“Saya juga kurang tahu mba’ katanya sih ini permintaan almarhum sendiri.” Jelas si orang tua.
Si gadis mengucapkan terima kasih sambil membungkukan badannya. Si orang tua balas mengangguk dan segera kembali ke tempatnya semula. Beberapa saat si gadis pun berlalu, pergi dengan  mobil yang dipacu sekencang-kencangnya. Air mata masih membekas di pipinya yang dilapisi bedak tipis. 
Sampai di rumahnya dia terduduk di tepi ranjang yang hangat. Diambilnya album foto dimana beberapa kenangan tersimpan rapi di dalamnya. Foto-foto bersama kekasih hati, Winarko, yang begitu dia cintai. Dia akan tetap menyimpannya, sehingga akan menjadi kenangan yang terindah bagi mereka berdua.
Setelah dua tahun, rona ceria sudah kembali di wajah gadis itu. Seperti putri yang bangun dari tidur, kecantikannya masih murni belum tersapu lapisan bedak atau semacamnya.  Dia pun mulai menapaki kehidupan baru hari itu. Jadwal kuliah yang padat perlahan mengikis ingatannya dan bertemu teman teman baru menambah gairah hidupnya.
Sampai satu ketika dia bertemu Adi , sahabat almarhum Winarko, yang sedang liburan di Yogyakarta. Pertemuan tidak sengaja itu mengingatkan kembali memori lama yang terpendam. Seperti lembaran foto yang tersusun terhampar di pelupuk matanya .  Adi memang tidak setampan Winarko. Tubuhnya pun kurus dengan rambut gondrong yang cukup rapi, namun tatapan matanya tajam laksana mata elang.  
Ternyata Adi memang kesana karena ingin menemuinya, menemui kekasih sahabatnya. Ada beberapa pertanyaan yang ingin Adi tanyakan. Setelah menempuh sekitar setengah jam Adi pun sampai di rumah si gadis. Setelah sedikit berbasa-basi Adi mulai mengajukan pertanyaan.
“Kenapa di akhir hidup Win lu ga ada Dhe?
“Gue yang menemaninya di akhir nafasnya. Lu kemana? Kenapa lu pergi?”
Berondongan  pertanyaan Adi membuat kepalanya berdenyut, jantungnya berdetak lebih keras. Matanya mulai berair, dia menghindari tatapan tajam lawan bicaranya.
“Gue ga tau Di, gue bener-bener ga tau.”
“Lu cinta khan sama win?”
“Ya. Gue cinta, sangat cinta Di.”
“Tapi setahun sebelum meninggal, Win mutusin gue Di. Win minta gue jauhin dia.”
“Maksud lu?”
 “Lu inget waktu lu ajak gue ke Blok M, apa lu pikir gue bakal mau lu ajak kalo gue masih ama Win?”
Adi mengerutkan keningnya, tak percaya gadis manis di hadapannya mengatakan hal seperti itu. Ada emosi yang meledak dari kata-katanya. Seakan-akan gunung Merapi yang memuntahkan lahar panas. Sekarang Adi sendiri yang tidak mampu menatap ke bola mata gadis itu. Dia hanya memandang lurus jauh ke tanaman perdu yang ada di halaman.

[Adjie S, Desa Sindet, Jetis, Bantul, 1996]

Jumat, 04 April 2014

Tetaplah Tersenyum

Saat berdoa memohon kepada yang Kuasa Hati dilanda gelisah atas kabul-Nya Ditunda atau langsung seperti hujan turun Masih harus bersabar sepertinya